Tabanan, SuaraRestorasi.com – Garda Wanita Malahayati Partai NasDem merupakan sayap organisasi dari Partai NasDem yang seluruh anggotanya adalah wanita. Wanita-wanita inilah yang nantinya akan bangkit membawa misi perjuangan kaum wanita di Indonesia. Bergerak bersama-sama dalam menyongsong perubahan di segala bidang, mulai dari aspek sosial, ekonomi, pertahanan, keamanan, politik dan lain sebagainya.
Lalu siapa sebenarnya tokoh Malahayati yang menjadi panutan Garda Wanita dalam memperjuangkan kaum wanita?
Ketua DPW Garnita Malahayati Partai NasDem Bali, Ida Ayu Ketut Candrawati, S.Sos., mengungkapkan bahwa sosok Laksamana Malahayati merupakan pahlawan wanita Aceh yang mendapat gelar pahlawan nasional pada tahun 2017. Gelar tersebut dianugerahkan karena kontribusinya yang besar untuk Indonesia.

Ketua DPW Garnita Malahayati Partai NasDem Bali
Dikatakannya, Laksamana Malahayati yang juga dikenal dengan nama Keumalahayati, lahir di Aceh Besar pada tahun 1550 silam. Dimasa kecilnya, Malahayati mendapat pendidikan di istana dan ia masih berkerabat dengan Sultan Aceh.
Ayahnya yang bernama Laksamana Mahmud Syah dan kakeknya yang bernama Laksamana Muhammad Said Syah mengabdi di Kesultanan Aceh sebagai panglima angkatan laut. Dari situlah semangat kelautan Malahayati muncul. Ia kemudian mengikuti jejak ayah dan kakeknya dengan menempuh pendidikan militer jurusan angkatan laut di Akademi Baitul Maqdis.
Dayu Candrawati menjelaskan, kisah perjuangan Malahayati dimulai setelah terjadinya pertempuran di Teluk Haru. Kala itu, armada laut Kesultanan Aceh melawan armada Portugis dan tragisnya suami Malahayati yakni Laksamana Zainal Abidin gugur dalam pertempuran itu.
Setelah ditinggal wafat suaminya, Malahayati mengusulkan kepada Sultan Aceh untuk membentuk pasukan yang terdiri dari janda prajurit Aceh yang gugur dalam peperangan. Permintaan itu dikabulkan dan Malahayati diangkat sebagai pemimpin pasukan tersebut dengan pangkat laksmana. Pasukan tersebut diberi nama Inong Balee.
“Malahayati adalah perempuan Aceh pertama yang menyandang pangkat laksmana,” ujar Ketua Fraksi Nasdem DPRD Tabanan ini.

Srikandi Partai NasDem asal Desa Tua, Marga ini menjelaskan, pasukan Inong Balee yang dipimpin oleh Laksamana Malahayati bertugas melindungi pelabuhan-pelabuhan dagang di Aceh. Saat itu Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee. Pada 21 Juni 1599, kapal Belanda datang dan memaksa masuk ke salah satu pelabuhan dagang di Aceh.
Melihat hal tersebut, Laksamana Malahayati dan pasukannya merasa tidak terima dan mengadakan perlawanan dengan Belanda. Pimpinan Belanda saat itu, Cornelis de Houtman dan beberapa pelaut Belanda tewas dalam peristiwa tersebut. Sementara itu, adik Cornelis de Houtman sekaligus wakil komandan armada Belanda, Frederick de Houtman ditangkap oleh pihak Aceh.
Lebih jauh Dayu Candrawati mengatakan bahwa Malahayati tidak hanya piawai di medan perang, namun juga mahir dalam diplomasi mewakili Sultan Aceh dengan pihak Belanda. Perundingan itu merupakan upaya Belanda agar Frederick de Houtman dilepaskan.
Hasilnya, Frederick de Houtman dilepaskan dengan syarat Belanda harus membayar ganti rugi kepada Kesultanan Aceh.
Untuk diketahui, Laksamana Malahayati wafat pada tahun 1615 dan jasadnya dikebumikan di Desa Lamreh, Kecamatan Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar.
“Laksamana Malahayati kemudian mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional pada 9 November 2017 bersama dengan tiga orang lainnya, yakni TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid asal Nusa Tenggara Barat, Sultan Mahmud Riayat Syah asal Kepulauan Riau, dan Lafran Pane asal Daerah Istimewa Yogyakarta,” paparnya.
Melihat kiprah perjuangan Laksmana Malahayati tersebut, Dayu Candrawati mengatakan bahwa ditengah jaman yang semakin modern ini, dengan adanya berbagai sarana yang memudahkan untuk berkehidupan, wanita Indonesia khususnya wanita Bali harus mampu mensejajarkan dirinya dengan kaum laki-laki. Termasuk pula dalam mengambil peran-peran strategis di pemerintahan maupun di bidang perpolitikan.
“Perempuan Bali merupakan perempuan tangguh. Sama seperti sosok Mahalayati, Bali juga mencatat ada beberapa tokoh perempuan yang turut berhadapan langsung bertempur melawan penjajah. Seperti Cokorda Istri Kania di Klungkung dan Sagung Wah di Tabanan.” Pungkas Dayu Candrawati.

Ia juga mengharapkan agar seluruh perempuan di Bali dapat meneladani semangat perjuangan dari para tokoh-tokoh pahlawan terdahulu.
“Perempuan Bali dalam era modern seperti ini harus mampu meneladani kiprah keberanian para tokoh-tokoh pahlawan perempuan seperti Malahayati dan lainnya dengan semakin gigih melakukan karya-karya nyata untuk keluarga, daerah, negara dan bangsa ini. Termasuk melakukan tindakan nyata dalam upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19 agar perekonomian kembali pulih dan kehidupan dapat berjalan normal,” tutupnya sambil memekikan semangat perjuangan. (sr-gs)